KATA PENGANTAR
Puji syukur ke
khadirat Allah SWT, yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan Kewarganegaraan yaitu Pancasila
dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia.
Makalah ini diajukan
untuk memenuhi nilai Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah Konsep Dasar
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang diampu oleh Ibu Yuli Adhani,S.Pd.M.Pd
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
Makalah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan pada kesempatan
ini pula penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Ibu
Yuli Adhani,S.Pd.M.Pd yang telah
membimbing, sehingga Makalah ini dapat selesai dengan baik.
Penulis menyadari
bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritikkan dan sarannya. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan penulis pada khususnya. Amin.
Jakarta, 05 agustus 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama
dengan bangsa Indonesia sejak dahulu. Sejarah merupakan deretan peristiwa yang
saling berhubungan. Peristiwa-peristiwa masa lampau yang berhubungan dengan
kejadian masa sekarang dan semuanya bermuara pada masa yang akan datang. Hal
ini berarti bahwa semua aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan
kehidupan masa sekarang untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan masa
yang sebelumnya.
Dasar Negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi
pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah Negara. Negara
Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu
pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar Negara, merupakan sumber kaidah
hukum yang mengatur Negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh
unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam
kedudukannya merupakan dasar pijakan penyelenggaraan Negara dan seluruh
kehidupan Negara Replubik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar Negara mempunyai arti yaitu
mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan pancasila
sebagai dasar Negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam
semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah
seharusnya semua peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia
bersumber pada Pancasila.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasiakan
rumusan masalah sebagai berikut:
A. Pancasila Pada Era
Pra Kemerdekaan
B.
Pancasila
Pada Era Kemerdekaan
C.
Pancasila
Pada Era Orde Lama
D. Pancasila Pada Era
Orde Baru
E.
Pancasila
Pada Era Reformasi
C.
Tujuan
Makalah
A. Diajukan untuk
memenuhi tugas Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah Konsep Dasar PKn
B.
Menjelaskan
Pancasila Era Pra kemerdekaan
C.
Menjelaskan
Pancasila Era Kemerdekaan
D. Menjelaskan Pancasila
Era Orde Lama
E.
Menjelaskan
Pancasila Era Orde Baru
F.
Menjelaskan
Pancasila Era Reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pancasila
Era Pra Kemerdekaan
Asal mula Pancasila secara budaya
Menurut Sunoto (1984) melalui kajian filsafat
Pancasila, menyatakan bahwa unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia
sendiri, walaupun secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Republik
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut
bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan
di dalam kehidupan merdeka. Sejarah bangsa Indonesia memberikan bukti yang
dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa, kesenian,
kepercayaan, agama dan kebudayaan pada umumnya. (Sunoto, 1984: 1). Dengan rinci
Sunoto menunjukkan fakta historis, diantaranya adalah :
- Ketuhanan Yang Maha Esa : bahwa di Indonesia tidak pernah ada putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab : bahwa bangsa Indonesia terkenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut dengan sesama manusia.
- Persatuan Indonesia : bahwa bangsa Indonesia dengan ciri-cirinya guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan : bahwa unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam masyarakat kita.
- Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia : bahwa bangsa Indonesia dalam menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat social dan berlaku adil terhadap sesama.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia,
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara, maka nilai-nilai
kehidupan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan sejak saat itu haruslah
berdasarkan pada Pancasila, namun pada kenyataannya, nilai-nilai yang ada dalam
Pancasila telah dipraktekkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan kita
praktekkan hingga sekarang. Hal ini berarti bahwa semua nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila telah ada dalam kehidupan rakyat Indonesia sejak
zaman nenek moyang.
Teori nilai budaya
Bangsa Indonesia mengakui bahwa Pancasila telah ada
dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari sejak bangsa Indonesia itu ada.
Keberadaan Pancasila masih belum terumuskan secara sistematis seperti sekarang
yang dapat kita lihat. Pancasila pada masa tersebut identik dengan nilai-nilai
luhur yang dianut bangsa Indonesia sebagai nilai budaya. Nilai budaya merupakan
pedoman hidup bersama yang tidak tertulis dan merupakan kesepakatan bersama
yang diikuti secara suka rela.
Nilai budaya merupakan suatu upaya untuk menjawab
persoalan-persoalan yang cukup vital dalam kehidupan manusia. Nilai budaya
merupakan cara manusia menjawab baik secara pribadi atau masyarakat terhadap
masalah-masalah yang mendasar di dalam hidupnya. Nilai tersebut merupakan suatu
sistem yang di dalamnya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka
anggap amat bernilai dalam hidup. (Koentjaraningrat, 1974: 32). Nilai budaya
akan mempengaruhi pandangan hidup, sistem normatif moral dan seterusnya hingga
akhirnya pengaruh itu sampai pada hasil tindakan manusia.
Nilai budaya dengan masing-masing orientasinya akan
mempengaruhi pandangan hidup. Pandangan hidup adalah sesuatu yang dipakai oleh
masyarakat dalam menentukan nilai kehidupan. Pandangan hidup sebenarnya
meliputi bagaimana masyarakat memandang aspek hubungan dalam hidup dan
kehidupan yakni hubungan manusia dengan yang transenden, hubungan dengan diri
sendiri, dan hubungan manusia dengan sesama makhluk lain. Dalam bahasa
Notonagoro dikenal istilah-istilah kedudukan kodrat, susunan kodrat, sifat
kodrat manusia. Dari sini dapat disimpulkan bahwa manusia mempunyai tiga
kecenderungan mendasar yaitu theo-genetis, bio-genetis, dan sosio-genetis.
Asal mula pancasila secara formal
A.T. Soegito (1999: 32) dengan mengutip beberapa
sumber bacaan menjelaskan bahwa mengenal diri sendiri berarti mengetahui apa
yang dapat dilakukannya, dan tak seorang pun akan tahu apa yang dapat
dilakukannya sebelum dia mencoba, satu-satunya petunjuk yang dapat ditemukan
untuk mengetahui sesuatu yang dapat dilakukan manusia adalah dengan mengetahui
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh manusia yang terdahulu. Oleh karena
itu, nilai sejarah terletak pada kenyataan bahwa ia mengajarkan apa yang telah
dilakukan oleh manusia dan dengan demikian apa sesungguhnya manusia. Tanpa
mengetahui sejarah, seseorang tidak dapat memperoleh pengertian kualitatif dari
gejala-gejala sosial yang ada. Secara rinci Sartono Kartodirdjo menjelaskan
bahwa fungsi pengajaran sejarah nasional Indonesia meliputi : 1. Membangkitkan
perhatian serta minat kepada sejarah tanah airnya; 2. Mendapatkan inspirasi
dari cerita sejarah; 3. Memupuk alam pikiran ke arah kesadaran sejarah; 4.
Memberi pola pikiran ke arah kesadaran sejarah; 5. Mengembangkan pikiran
penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia
yang terkait dengan Pancasila, Dardji Darmodihardjo mengajukan kesimpulan bahwa
nilai-nilai Pancasila telah menjiwai tonggak-tonggak sejarah nasional Indonesia
yaitu 1. Cita- cita luhur bangsa Indonesia yang diperjuangkan untuk menjadi
kenyataan; 2. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut berlangsung berabad-abad,
bertahap dan menggunakan cara yang bermacam-macam; 3. Proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945 merupakan titik kulminasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang
dijiwai oleh pancasila; 4. Pembukaan UUD 1945 merupakan uraian terperinci dari
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945; 5. Empat pokok pikiran dalam Pembukaan
UUD 1945; paham negara persatuan, negara bertujuan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, negara berdasarkan kedaulatan rakyat, negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab; 6. Pasal-pasal UUD 1945 merupakan uraian terperinci dari pokok-pokok
yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 yang berjiwakan Pancasila; 7. Maka
penafsiran sila-sila pancasila harus bersumber, berpedoman dan berdasar kepada
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. (Dardji Darmodihardjo, 1978: 40).
Secara historis rumusan- rumusan Pancasila dapat dibedakan dalam tiga
kelompok (Bakry, 1998: 20) :
- Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap pengusulan sebagai dasar negara Republik Indonesia, termasuk Piagam Djakarta.
- Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan.
- Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum berlaku kembali rumusan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Masa Pengusulan
Dalam sidang Teiku Gikoi (Parlemen Jepang) pada
tanggal 7 September 1944, perdana menteri Jepang Jendral Kuniaki Koisi, atas
nama pemerintah Jepang mengeluarkan janji kemerdekaan Indonesia yang akan
diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945, sebagai janji politik. Sebagai
realisasi janji ini, pada tanggal 1 Maret 1945 Jepang mengumumkan akan
dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). Badan ini baru terbentuk pada tanggal 29 April
1945.
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan
bala tentara Jepang di Jawa), dengan susunan sebagai berikut Ketua Dr. KRT.
Radjiman Wedyodiningrat, ketua muda Ichibangase Yosio (anggota luar biasa,
bangsa Jepang), Ketua Muda R. Panji Soeroso (merangkap Tata Usaha), sedangkan
anggotanya berjumlah 60 orang tidak termasuk ketua dan ketua muda.
Adanya badan ini memungkinkan bangsa Indonesia dapat
mempersiapkan kemerdekaannya secara legal, untuk merumuskan syarat-syarat apa
yang harus dipenuhi sebagai negara yang merdeka. Oleh karena itu, peristiwa ini
dijadikan sebagai suatu tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam
mencapai cita-citanya.
Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali.
Sidang pertama pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang
kedua pada tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945.
Masa Sidang Pertama BPUPKI
Pada sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 M. Yamin
mengemukakan usul yang disampaikan dalam pidatonya yang berjudul asas dan dasar
negara Kebangsaan Indonesia di hadapan sidang lengkap BPUPKI. Beliau
mengusulkan dasar negara bagi Indonesia Merdeka yang akan dibentuk meliputi
Peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri Ketuhanan, peri kerakyatan, dan
kesejahteraan rakyat.
Selain usulan dalam bentuk pidato, usulan M. Yamin
juga disampaikan dalam bentuk tertulis tentang lima asas dasar negara dalam
rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang berbeda rumusan
kata-kata dan sistematikanya dengan isi pidatonya. Rumusannya yang tertulis
adalah sebagai berikut :
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kebangsaan Persatuan Indonesia,
- Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
- Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tangaal 31 Mei 1945 Soepomo mengusulkan perihal yang
pada dasarnya bukan dasar negara merdeka, akan tetapi tentang paham negaranya
yaitu negara yang berpaham integralistik. Soepomo mengusulkan tentang dasar
pemikiran negara nasional bersatu yang akan didirikan harus berdasarkan atas
pemikiran integralistik tersebut yang sesuai dengan struktur sosial Indonesia
sebagai ciptaan budaya bangsa Indonesia yaitu: struktur kerohanian dengan
cita-cita untuk persatuan hidup, persatuan kawulo gusti, persatuan dunia luar
dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan
pemimpin-pemimpinnya.
Syarat mutlak bagi adanya negara menurut Soepomo
adalah adanya daerah, rakyat, dan pemerintahan. Mengenai dasar dari negara
Indonesia yang akan didirikan, ada tiga persoalan yaitu:
1. Persatuan negara, negara serikat, persekutuan negara,
2. Hubungan antara negara dan agama,
3. Republik atau monarchie.
Pada hari berikutnya, tanggal 1 juni 1945 Ir. Soekarno
juga mengusulkan lima dasar bagi negara Indonesia yang disampaikan melalui
pidatonya mengenai Dasar Indonesia merdeka. Lima dasar itu atas petunjuk
seseorang ahli bahasa yaitu Mr. M. Yamin. Lima dasar yang diajukan Bung Karno
ialah Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaa, Mufakat atau
demokrasi, Kesejahteraan sosial, Ketuhanan yang berkebudayaan. Lima rumusan
tersebut menurutnya dapat diringkas menjadi tiga rumusan yang diberi nama Tri-Sila
yaitu dasar pertama, kebangsaan dan perikemanusiaan (nasionalisme dan
internasionalisme) diringkas menjadi satu diberi nama sosio-nasionalisme. Dasar
kedua, demokrasi dan kesejahteraan diringkas menjadi menjadi satu dan biberi
nama sosio-demokrasi. Sedangkan dasar yang ketiga, ketuhanan yang berkebudayaan
yang menghormati satu sama lain disingkat menjadi ketuhanan.
Setelah selesai masa sidang pertama, dengan usulan
dasar negara baik dari M. Yamin dan Soekarno, dan paham negara integralistik
dari Soepomo maka untuk menampung perumusan-perumusan yang bersifat perorangan,
dibentuklah panitia kecil penyelidik usul-usul yang terddiri atas Sembilan
orang yang diketuai oleh Soekarno, yang kemudian disebut dengan panitia
Sembilan.
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil
merumuskan Rancangan pembukaan Hukum Dasar, yang oleh Mr. M. Yamin dinamakan
Jakarta Charter atau Piagam Jakarta. Di dalam rancangan pembukaan alinea
keempat terdapat rumusan Pancasila yang tata urutannya tersusun secara
sistematis:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Selain itu, dalam piagam Jakarta pada alenia ketiga juga memuat rumusan
teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang pertama berbunyi “Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaannya”. Kalimat ini merupakan cetusan hati nurani
bangsa Indonesia yang diungkapkan sebelum Proklamasi kemerdekaan, sehingga
dapat disebut sebagai declaration of Indonesian Independence.
Masa Sidang Kedua BPUPKI
Masa sidang kedua BPUPKI yaitu pada tanggal 10 Juli
sampai dengan 17 Juli 1945, merupakan masa sidang penentuan perumusan dasar
negara yang akan merdeka sebagai hasil kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI
dalam masa sidang kedua ini ditambah enam orang anggota baru. Sidang lengkap
BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 menerima hasil panitia kecil atau panitia
Sembilan yang disebut dengan piagam Jakarta. Disamping menerima hasil rumusan
Panitia Sembilan dibentuk juga panitia-panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan
menjadi tiga kelompok panitia perancang Hukum Dasar yaitu:
1. Panitia
Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota yang berjumlah
19 orang,
2. Panitia Pembela
Tanah Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang,
3. Panitia Ekonomi
dan Keuangan dengan ketua Moh. Hatta bersama 23 orang anggota.
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi
panitia kecil. Perancang Hukum Dasar yang dipimpin oleh Soepomo.
Panitia-panitia kecil itu dalam rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah
menyelesaikan tugasnya menyusun Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya pada tanggal
14 Juli 1945 sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia Sembilan yang
dinamakan Piagam Jakarta sebagai Rancangan Pembukaan Hukum Dasar, dan pada
tanggal 16 Juli 1945 menerima seluruh Rancangan Hukum Dasar yang sudah selesai
dirumuskan dan di dalamnya juga memuat Piagam Jakarta sebagai pembukaan.
Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945,
hanya merupakan sidang penutupan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia secara resmi. Dengan berakhirnya sidang ini maka
selesailah tugas badan tersebut, yang hasilnya akan dijadikan dasar bagi negara
Indonesia yang akan dibentuk sesuai dengan janji Jepang. Sampai akhir sidang
BPUPKI ini rumusan Pancasila dalam sejarah perumusannya ada empat macam:
1. Rumusan pertama
Pancasila adalah usul dari Muh. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945, yaitu usul pribadi
dalam bentuk pidato,
2. Rumusan kedua
Pancasila adalah usul Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yakni usul pribadi dalam
bentuk tertulis,
3. Rumusan ketiga
Pancasila usul bung Karno tanggal 1 Juni 1945, usul pribadi dengan nama
Pancasila,
4. Rumusan keempat
Pancasila dalam piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, hasil kesepakatan bersama
pertama kali.
Meskipun Pancasila secara formal belum menjadi dasar
negara Indonesia, namun unsur-unsur sila-sila Pancasila yang dimiliki bangsa
Indonesia telah menjadi dorongan perjuangan bangsa Indonesia pada masa silam.
Pada saat proklamasi, semua kekuatan dari berbagai lapisan masyarakat bersatu
dan siap mempertahankan serta mengisi kemerdekaan yang telah
diproklamasikan. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 adalah revolusi Pancasila.
Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia,
tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, diadakan sidang pleno PPKI untuk membahas
Naskah Rancangan Hukum Dasar yang akan ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar
(1945). Tugas PPKI semula hanya memeriksa hasi sidang BPUPKI, kemudian
anggotanya disempurnakan. Penambahan keanggotaan ini menyempurnakan kedudukan
dan fungsi yang sangat penting sebagai wakil bangsa Indonesia dalam membentuk
negara Republik Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam
sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia dengan menetapkan (Kaelan, 1993: 43-45) :
1.
Piagam Jakarta yang telah diterima sebagai rancangan
Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI pada tanggal 14 Juli 1945 dengan beberapa
perubahan, disahkan sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia.
2.
Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI
pada tanggal 16 Juli 1945 setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan
sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
3.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama,
yaitu Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden.
4.
Menetapkan berdirinya Komite Nasional sebagai Badan
Musyawarah darurat.
Dengan disahkan dan ditetapkan Piagam Jakarta sebagai
Pembukaan UUD 1945, maka lima dasar yang diberi nama Pancasila tetap tercantum
di dalamnya. Hanya saja sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, atas
prakarsa Drs. Moh. Hatta. Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai
rumusan kelima dalam sejarah perumusan Pancasila, dan merupakan rumusan pertama
yang diakui sebagai dasar filsafat negara secara formal.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merupakan
suatu asas kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum,
sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma serta kaidah baik moral maupun
hukum negara, dan menguasai hukum dasar baik yang tertulis atau UUD, maupun
yang tidak tertulis atau konvensi. Oleh karena itu, kedudukan Pancasila sebagai
dasar negara ini memiliki kekuatan yang mengikat secara hukum. Seluruh bangsa
Indonesia tak terkecuali dengan demikian wajib mengamalkan Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari.
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum
Indonesia, ia tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945 yang
diwujudkan lebih lanjut di dalam pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan
dari UUD 1945, yang pada akhirnya dikonkrietisasikan dalam pasal-pasal UUD 1945
maupun dalam hukum positif lainnya. Konsekuensi kedudukan Pancasila sebagai
dasar negara ini lebih lanjut dapat dirinci sebagai berikut: Pertama;
Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala sumber hukum atau
sumber tertib hukum Indonesia. Kedua; Pancasila sebagai dasar negara
meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945. Ketiga; Pancasila sebagai
dasar negara mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara Indonesia. Keempat;
Pancasila sebagai dasar negara mengandung norma yang mengharuskan UUD
mengandung isi yang mewajibkan pemerintah maupun para penyelenggara negara
untuk memelihara budi pekerti yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral
rakyat yang luhur.
B.
Pancasila
Era Kemerdekaan
Dalam perjalanan
kehidupan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan, Pancasila mengalami banyak
perkembangan. Sesaat setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945, Pancasila
melewati masa-masa percobaan demokrasi. Pada waktu itu, Indonesia masuk ke
dalam era percobaan demokrasi multi-partai dengan sistem kabinet parlementer.
Partai-partai politik pada masa itu tumbuh sangat subur, dan proses politik
yang ada cenderung selalu berhasil dalam mengusung kelima sila sebagai dasar
negara (Somantri, 2006). Pancasila pada masa ini mengalami masa kejayaannya.
Selanjutnya, pada akhir tahun 1959, Pancasila melewati masa kelamnya dimana
Presiden Soekarno menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Pada masa itu,
presiden dalam rangka tetap memegang kendali politik terhadap berbagai kekuatan
mencoba untuk memerankan politik integrasi paternalistik (Somantri, 2006). Pada
akhirnya, sistem ini seakan mengkhianati nilai-nilai yang ada dalam Pancasila
itu sendiri, salah satunya adalah sila permusyawaratan. Kemudian, pada 1965
terjadi sebuah peristiwa bersejarah di Indonesia dimana partai komunis berusaha
melakukan pemberontakan. Pada 11 Maret 1965, Presiden Soekarno memberikan wewenang
kepada Jenderal Suharto atas Indonesia. Ini merupakan era awal orde baru dimana
kemudian Pancasila mengalami mistifikasi. Pancasila pada masa itu menjadi kaku
dan mutlak pemaknaannya. Pancasila pada masa pemerintahan presiden Soeharto
kemudia menjadi core-values (Somantri, 2006), yang pada akhirnya kembali
menodai nilai-nilai dasar yang sesungguhnya terkandung dalam Pancasila itu
sendiri. Pada 1998, pemerintahan presiden Suharto berakhir dan Pancasila
kemudian masuk ke dalam era baru yaitu era demokrasi, hingga hari ini.
C. Pancasila Era Orde
Lama
Kedudukan pancasila sebagai idiologi Negara dan falsafah bangsa yang pernah
dikeramatkan dengan sebutan azimat revolusi bangsa, pudar untuk pertama kalinya
pada akhir dua dasa warsa setelah proklamasi kemerdekaan. Meredupnya sinar api
pancasila sebagai tuntunan hidup berbangsa dan bernegara bagi jutaan orang
diawali oleh kahendak seorang kepala pemerintahan yang terlalu gandrung pada
persatuan dan kesatuan. Kegandrungan tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun
kekuasaan yang terpusat, agar dapat menjadi pemimpin bangsa yang dapat
menyelesaikan sebuah revolusi perjuangan melawan penjajah (nekolim,
neokolonialisme) serta ikut menata dunia agar bebas dari penghisapan bangsa
atas bangsa dan penghisapan manusia dengan manusia.
Orde lama berlangsung dari tahun 1959-1966. Pada masa itu berlaku demokrasi
terpimpin. Setelah menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno
meletakkan dasar kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi terimpin yaitu demokrasi
khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai dengan makna yang
terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana demokrasi dipimpin
oleh kepentingan-kepentingan tertetu.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik
dan pemerintah sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga
MPRS yang bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan
pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan lemahnya control yang
seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan
sehingga situasi politik, keamanaan dan kehidupan ekonomi makin memburuk puncak
dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G30S/PKI yang sangat
membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.
Mengingat keadaan makin membahayakan Ir.
Soekarno selaku presiden RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui
Surat Perintah 11 Maret 1969 (Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang
diperlukan bagi terjaminnya keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan
jalannya pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa
Orde Baru.
D. Pancasila Era Orde
Baru
Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang
terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil.
Stabil dalam artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan
dewasa ini. Stabilitas yang diiringi dengan maraknya pembangunan di
segala bidang. Era pembangunan, era penuh kestabilan, menimbulkan romantisme dari
banyak kalangan.
Diera Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak lepas
dari keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah untuk semakin
menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-agungkan;
Pancasila begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan
rakyat tidak memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal.
Menurut Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di era Orde Baru sendiri terkesan
“menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai alat
politik untuk memperoleh kekuasaan. Disamping hal tersebut, penanaman
nilai-nilai Pancasila di era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam
kehidupan sosial rakyat Indonesia. Kepedulian antarwarga sangat kental,
toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan budaya gotong-royong sangat
dijunjung tinggi. Selain penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari
penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi, yang
menyatakan bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu organisasi
masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan
Pancasila sebagai asas utamanya.
Romantisme Pelaksanaan P4
Di era Orde Baru, terdapat kebijakan Pemerintah terkait penanaman nilai-nilai
Pancasila, yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Materi
penataran P4 bukan hanya Pancasila, terdapat juga materi lain seperti UUD 1945,
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Wawasan Nusantara, dan materi lain yang
berkaitan dengan kebangsaan, nasionalisme dan patriotisme. Kebijakan tersebut
disosialisaikan pada seluruh komponen bangsa sampai level bawah termasuk
penataran P4 untuk siswa baru Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah
Atas (SMA), yang lalu dilanjutkan di perguruan tinggi hingga di wilayah kerja.
Pelaksanaannya dilakukan secara menyeluruh melalui Badan Penyelenggara
Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dengan metode
indoktrinasi.
Visi Orde Baru pada saat itu adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen.
Sejalan dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD
1945 menjadi semacam senjata bagi pemerintahan Orde Baru dalam hal mengontrol
perilaku masyarakat. Seakan-akan ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar
kalau hal tersebut sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya dianggap salah
kalau bertentangan dengan kehendaknya. Sikap politik masyarakat yang kritis dan
berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya malah dengan mudahnya
dikriminalisasi.
Penanaman nilai-nilai Pancasila pada saat itu dilakukan tanpa sejalan
dengan fakta yang terjadi di masyarakat, berdasarkan perbuatan pemerintah.
Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan
masyarakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap
ungkapan para pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan
keteladanan serta tindakan yang nyata, sehingga banyak masyarakat pun tidak
menerima adanya penataran yang tidak dibarengi dengan perbuatan pemerintah yang
benar-benar pro-rakyat.
Pancasila yang Begitu Diagung-Agungkan
Pada era Orde Baru sebagai era “dimanis-maniskannya”
Pancasila. Secara pribadi, Soeharto sendiri seringkali menyatakan pendapatnya
mengenai keberadaan Pancasila, yang kesemuanya memberikan penilaian
setinggi-tingginya terhadap Pancasila. Ketika Soeharto memberikan pidato dalam
Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1967. Soeharto mendeklarasikan
Pancasila sebagai suatu force yang dikemas dalam berbagai frase bernada
angkuh, elegan, begitu superior. Dalam pidato tersebut, Soeharto menyatakan
Pancasila sebagai “tuntunan hidup”, menjadi “sumber tertib sosial” dan “sumber
tertib seluruh perikehidupan”, serta merupakan “sumber tertib negara” dan
“sumber tertib hukum”. Kepada pemuda Indonesia dalam Kongres Pemuda tanggal 28
Oktober 1974, Soeharto menyatakan, “Pancasila janganlah hendaknya hanya
dimiliki, akan tetapi harus dipahami dan dihayati!” Dapat dikatakan tidak ada
yang lebih kuat maknanya selain Pancasila di Indonesia, pada saat itu, dan
dalam era Orde Baru.
Demokrasi Pancasila: Wajah Semu Era Orde Baru
Di dalam P4, melalui Ketetapan MPR (TAP MPR) No.
II/MPR/1978 (sudah dicabut), adalah 36 butir Pancasila sebagai ciri-ciri
manusia Pancasilais. Pemerintah Orde Baru mengharapkan melalui 36 butir
Pancasila, yang serta merta “wajib hukumnya” untuk dihafal, akan terbentuk
suatu tatanan rakyat Indonesia yang mempraktikkan kesemuanya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, lalu terciptalah negara Indonesia yang adil dan
makmur, di segala bidang. Akan tetapi, justru penghafalan itu yang menjadi
bumerangnya. Cita-cita yang terkembang melalui P4 hanya keluar dari mulut saja,
tanpa ada pengamalan yang berarti untuk setiap butir yang terkandung di
dalamnya, meskipun tidak terjadi secara general.
E.
Pancasila
Era Reformasi
Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai
dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga
negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi
dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi
kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar
negara ia sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara
hukum, setiap perbuatan baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat
harus berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam
kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya.
Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila Pancasila. Substansi produk hukumnya tidak bertentangan dengan
sila-sila pancasila.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung
arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di
implementasikan sebagai berikut :
·
Penerapan dan pelaksanaan keadilaan sosial mencakup
keadilan politik, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
·
Mementingkan kepentingan rakyat / demokrasi dalam
pengambilan keputusan.
·
Melaksanakan keadilaan sosial dan penentuan prioritas
kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan.
·
Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan
menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.
·
Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan toleransi
bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila
sebagai paradigma nasional bidang ekonomi mengandung pengertian bagaimana suatu
falsafah itu diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam kehidupan
nyata.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional
bidang kebudayaan mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah etos budaya
persatuan, dimana pembangunan kebudayaan sebagai sarana pengikat persatuan
dalam masyarakat majemuk. Oleh karena itu smeboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan
UUD 1945 yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya menjadi
prioritas, karena kebudayaan nasional sangat diperlukan sebagai landasan media
sosial yang memperkuat persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai
bahasa persatuan.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional
Bidang Hankam, maka paradigma baru TNI terus diaktualisasikan untuk menegaskan,
bahwa TNI telah meninggalkan peran sosial politiknya atau mengakhiri
dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem nasional.
Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, dengan
memasuki kawasan filsafat ilmu (philosophy of science) ilmu pengetahuan yang
diletakkan diatas pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah
penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa hakikat ilmu
pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya
untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan harus
dipandang secara utuh, dalam dimensinya sebagai proses menggambarkan suatu
aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui abstraksi, spekulasi, imajinasi,
refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi mencari dan
menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk, adanya hasil yang diperoleh
melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah beserta aplikasinya yang
berwujud fisik ataupun non fisik. Epistimologi,
yaitu bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijadikan
metode berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan ilmu
pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-hasil yang
dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri. Aksilogis, yaitu bahwa dengan
menggunakan epistemologi tersebut diatas, pemanfaatan dan efek pengembangan
ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan Pancasila dan secara
positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.
Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya
dalam konteks sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan
hakiki agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan
akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan
fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945), Pancasila
telah mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarah bangsa
Indonesia (Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembangan Pancasila
sebagai dasar negara dalam tiga tahap yaitu :
1. Tahap 1945 –
1968 Sebagai Tahap Politis
Dimana orientasi pengembangan Pancasila diarahkan kepada Nation and
Character Building. Hal ini sebagai perwujudan keinginan bangsa Indonesia untuk
survival dari berbagai tantangan yang muncul baik dalam maupun luar negeri,
sehingga atmosfir politik sebagai panglima sangat dominan. Pancasila sebagai
Dasar Negara misalnya menurut Notonagoro dan Driarkara. Kedua ilmuwan tersebut
menyatakan bahwa Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandang dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan bahkan Pancasila merupakan suatu paham atau
aliran filsafat Indonesia, dan ditegaskan bahwa Pancasila merupakan rumusan
ilmiah filsafati tentang manusia dan realitas, sehingga Pancasila tidak lagi
dijadikan alternatif melainkan menjadi suatu imperatif dan suatu philosophical
concensus dengan komitmen transenden sebagai tali pengikat kesatuan dan
persatuan dalam menyongsong kehidupan masa depan bangsa yang Bhinneka Tunggal
Ika. Bahkan Notonagoro menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan
staatfundamental Norm yang tidak dapat diubah secara hukum oleh siapapun.
Sebagai akibat dari keberhasilan mengatasi berbagai tantangan baik dari dalam
maupun dari luar negeri, masa ini ditandai oleh kebijakan nasional yaitu
menempatkan Pancasila sebagai asas tunggal.
2. Tahap 1969 – 1994 Sebagai Tahap Pembangunan Ekonomi
Yaitu upaya mengisi kemerdekaan melalui program-program ekonomi. Orientasi
pengembangan Pancasila diarahkan pada bidang ekonomi, akibatnya cenderung
menjadikan ekonomi sebagai ideologi. Pada tahap ini pembangunan ekonomi
menunjukkan keberhasilan secara spektakuler, walaupun bersamaan dengan itu
muncul gejala ketidakmerataan dalam pembagian hasil pembangunan. Kesenjangan
sosial merupakan fenomena yang dilematis dengan program penataran P4 yang
selama itu dilaksanakan oleh pemerintah. keadaan ini semakin memprihatinkan
setelah terjadinya gejala KKN dan Kronisme yang bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila. Bersamaan dengan itu perkembangan perpolitikan dunia, setelah
hancurnya negara-negara komunis, lahirnya tiga raksasa kapitalisme dunia yaitu
Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Oleh karena itu Pancasila sebagai dasar
negara tidak hanya dihantui oleh supersifnya komunisme melainkan juga harus
berhadapan dengan gelombang aneksasinya kapitalisme, disamping menhadapi
tantangan baru yaitu KKN dan kronisme.
3. Tahap 1995 – 2020 Sebagai Tahap Repositioning Pancasila
Dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara cepat,
mendasar, spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda seluruh
penjuru dunia, khususnya di abad XXI sekarang ini, bersamaan arus reformasi
yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah merombak semua
segi kehidupan secara mendasar, maka semakin terasa orgensinya untuk menjadi
Pancasila sebagai dasar negara dalam kerangka mempertahankan jatidiri bangsa
dan persatuan dan kesatuan nasional, lebih-lebih kehidupan perpolitikan nasional
yang tidak menentu di era reformasi ini. Berdasarkan hal tersebut diatas
perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi Pancasila sebagai dasar negara yang
mengandung makna Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan
UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya.
Realitasnya bahwa
nilai-nilai yang terkandung didalamnya dikonkritisasikan sebagai ceminan
kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, suatu rangkaian
nilai-nilai yang bersifat “sein im sollen dan sollen im sein”.
Idealitasnya bahwa
idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna,
melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja untuk membangkitkan gairah dan
optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif.
Fleksibilitasnya dalam
arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan dalam kebekuan
dogmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsi-tafsir baru untuk memenuhi
kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang, dengan demikian tanpa kehilangan
nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional
sebagai penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara.
Di era reformasi ini,
Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan menuntun masyarakat.
Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik dan
masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi nilai-nilai
pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang
kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya karena rejim
Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang
otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari berdirinya
bangsa ini, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan
yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan
relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pancasila adalah lima nilai dasar
luhur yang ada dan berkembang bersama dengan bangsa Indonesia sejak dahulu.
Sejarah merupakan deretan peristiwa yang saling berhubungan.
Peristiwa-peristiwa masa lampau yang berhubungan dengan kejadian masa sekarang
dan semuanya bermuara pada masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa semua
aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan kehidupan masa sekarang
untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan masa yang sebelumnya. Sejarah
perjuangan bangsa Indonesia berlalu dengan melewati suatu proses waktu yang
sangat panjang. Dalam proses waktu yang panjang itu dapat dicatat
kejadian-kejadian penting yang merupakan tonggak sejarah perjuangan.
Dan Dasar Negara merupakan alas atau
fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya
sebuah Negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan
atau pijakan yaitu pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar Negara,
merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Replubik Indonesia, termasuk
di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat.
Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah yang merupakan dasar pijakan
penyelenggaraan Negara dan seluruh kehidupan Negara Replubik Indonesia.
B.
Saran-Saran
Pancasila merupakan kepribadian
bangsa Indonesia yang mana setiap warga negara Indonesia harus menjunjung
tinggi dan mengamalkan sila-sila dari Pancasila tersebut dengan setulus hati
dan penuh rasa tanggung jawab. Agar pancasila tidak terbatas pada coretan tinta
belaka tanpa makna.
DAFTAR PUSTAKA
Ubaedillah A & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Icce. UIN
Jakarta, 2003
Darmodiharjo, Darji. 1982. Pancasila dalam Beberapa Perspektif.
Jakarta: Aries Lima
Tim Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2005. Pendidikan
Pancasila. Jakarta: Universitas Terbuka
Winatapura, Udin. S, dkk. 2008. Buku Materi dan Pembelajaran Pkn
SD. Jakarta: Universitas Terbuka
http///www.google.com
http//Birokrasi.kompasiana.com
http//dokumenqu.blogspot.com
https//www.slideshare.net/DWIAYU2/sejarah-pancasila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar