A.
PENGERTIAN KHALIFAH
Dalam bahasa Arab, kata yang memiliki susunan huruf
yang hampir sama, apalagi jika kata tersebut berasal dari kata dasar yang sama,
maka biasanya memiliki arti dan makna yang berkaitan pula.
Melihat dari aspek etimologi, kata khalifah
berasal dari bahasa Arab yang berakar dari kata dasar خلف , sebagaimana yang
disebutkan oleh Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyya dalam Maqayis
Lughahnya bahwa terdiri dari 3 huruf Kha, lam dan fa yang memiliki 3
makna yaitu :
Pertama : datangnya sesuatu setelah sesuatu
setelah sesuatu itu mengganti posisinya, kedua : lawan dari kata depan/muka,
dan yang ketiga : pengganti atau perubahan”.[1] Arti kata yang pertama ditemukan
dalam QS. Maryam, 19/59 :
فَخَلَفَ
مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ
يَلْقَوْنَ غَيًّا .
Artinya : “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti
(yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka
mereka kelak akan menemui kesesatan.”( QS. Maryam, 19/59).
Sementara dalam mu’jam al-Alfaz wa al-‘Alam
al-Qur’āniyyah disebutkan bahwa:
جاء بعده
وأقام مقامه, وخلف الشيء : تركه وراءه وخالف خلافا : ضد وافق وخالف عن كذا.[2]
“Datang sesudahnya dan mengganti posisi/tempatnya,
dibelakang sesuatu, meninggalkannya, dibelakangnya, berbeda dengan perbedaan
yang sebenarnya : lawan dari kata setuju dan berbeda dengan sesuatu”
Namun, selain dari arti tersebut di atas kami juga
menemukan arti lain yang biasa digunakan oleh ahli bahasa seperti ; menyalahi,
melanggar, memungkiri, menghindari, berkuasa dan lain-lain.[3] Kesemua makna kata ini memiliki
hubungan sebagaimana yang kami jelaskan tadi seperti seorang penguasa itu
adalah orang yang terkemuka dan jika tiba masanya akan terjadi pergantian
penguasa atau pemimpin, begitu pula dengan menyalahi, melanggar dan sebagainya
saya kira ini adalah kata yang semakna.
Konsep khilafah menurut ibnu Khaldun adalah tanggung
jawab umum yang sesuai dengan tujuan syarak (hukum islam) yang bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat.[4] Pada hakikatnya, khilafah merupakan
pengganti fungsi syarak, yakni Rasulullah SAW, dalam urusan agama dan urusan
politik keduniaan.
Selanjutnya ibnu Khaldun mengatakan bahwa khilafah
juga merupakan sinonim istilah imamah, yakni kepemimpinan menyeluruh yang
berkaitan dengan urusan agama dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi
rasulullah SAW.[5] Seseorang yang melakukan dan
melaksanakan fungsi khilafah disebutlah ia sebagai khalifah yang memiliki
bentuk jama’ “Khulafā atau khalāif”.
Dengan mengaitkan aspek kebahasaan dengan devenisi
tentang khilafah yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun, maka secara terminologis
kesimpulan sementara kami bahwa khalifah adalah pengganti posisi Rasulullah
yang memikul tanggung jawab umum yang sesuai dengan tujuan syarak (hukum islam)
yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat.
Jika kita melihat dari segi pecahannya menurut
kaedah bahasa Arab seperti خلف-يخلف أخلف-يخلف, , استخلف-يستخلف yang berartikan
“pengganti, berkuasa atau menjadikan khalifah” dan inilah yang akan kami coba
untuk membahasnya sesuai dengan kemampuan kami, dan marilah kita perhatikan
penjelasan lebih lanjut.
- B.
AYAT-AYAT TENTANG KHALIFAH DAN PENAFSIRANNYA
Setelah meneliti berulang kali, kata khalifah beserta
dengan perubahan-perubahannya dalam kaedah bahasa Arab disebut sebanyak 126 x
disebut dalam al-Qur’ān.[6] Terkhusus kepada kata yang memiliki
arti atau yang bermaknakan pengganti, penguasa, kata khalifah disebutkan
sebanyak 21 x yaitu dalam surah Al-‘Araf : 69, 74, 129, 142,169 (2x), Saba’ :
39, An-Nūr : 55 (2x), Al-An’ām : 133, 165, Yūsuf : 14,73, Fāţir : 39, Hūd : 57,
Maryam : 59 (2x), Al-Baqarah : 30, Shād : 26, An-Naml : 62 dan Al-Hadīd : 7.
Dan akan kami lihat bagaimana al-Qur’ān menggunakan kata-kata tersebut.
Salah satu kata khalifah yang kami temukan
dalam al-Qur’ān yaitu Allah swt berfirman :
هُوَ الَّذِي
جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ فِي الْأَرْضِ فَمَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ وَلَا
يَزِيدُ الْكَافِرِينَ كُفْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ إِلَّا مَقْتًا وَلَا يَزِيدُ
الْكَافِرِينَ كُفْرُهُمْ إِلَّا خَسَار.
Artinya : “Dia-lah yang menjadikan kamu
khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat)
kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu
tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran
orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka
belaka.”(QS. Al-Fathir/35 : 39)
- 1. Analisis Mikro Struktur Ayat
Menganalisa kosa kata atas makna yang terkandung dalam
suatu kata al-Qur’ān, prase ataukah dari bentuk kalusa merupakan hal yang
sangat penting dalam meamahmi isi kandungan ayat. Olehnya itu, marilah kita
melihat bagaimana imam jalalain menyebutkan hal tersebut terutama dalam QS.
Al-Fathir/35 : 39 :
{ هو الذي
جعلكم خلائف في الأرض } جمع خليفة أي يخلف بعضكم بعضا { فمن كفر } منكم { فعليه
كفره } أي وبال كفره { ولا يزيد الكافرين كفرهم عند ربهم إلا مقتا } غضبا.[7]
Sementara dalam kitab fath al-Qadir disebutkan :
{ هو الذي
جعلكم خلائف في الأرض } أي جعلكم أمة خالفة لمن قبلها قال قتادة : خلفا بعد خلف
وقرنا بعد قرن والخلف : هو التالي للمتقدم وقيل جعلكم خلفاءه في أرضه { فمن كفر }
منكم هذه النعمة { فعليه كفره } أي عليه ضرر كفره لا يتعداه إلى غيره { ولا يزيد
الكافرين كفرهم عند ربهم إلا مقتا } أي غضبا وبغضا { ولا يزيد الكافرين كفرهم إلا
خسارا } أي نقصا وهلاكا والمعنى : أن الكفر لا ينفع عند الله حيث لا يزيدهم إلا
المقت ولا ينفعهم في أنفسهم حيث لا يزيدهم إلا الخسار.[8]
Jika melihat dari aspek kronologis turunnya ayat-ayat
tersebut, yang pertama turun mengenai tentang kekhalifaan adalah ayat 26 dari
surat Shad,[9] Allah SWT berfirman :
يا دَاوُودُ
إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ
يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ
الْحِسَابِ .
Artinya :” Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan
kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia
akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat
dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.”(QS. Shad, 38/26)
Ayat ini menerangkan bahwa nabi Daud diangkat sebagai
khalifah di muka bumi dengan tugas menegakkan hukum dengan benar di
tengah-tengah masyarakat. Perintah tersebut disertai pula larangan mengikuti
kehendak hawa nafsu semata karena hal itu menyebabkan penyimpangan dari
agama Tuhan.[10]
- 2.
Munasabah Ayat
Dikaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya, ayat di atas
merupakan rangkaian ayat yang mengisahkan sebagian dari keistimewaan dan
pengalaman hidup nabi Daud. Rangkaian kisah ini diungkapkan agar Nabi Muhammad
SAW memperhatikan dan mengambil iktibar untuk menghadapi kesombongan dan
permusuhan orang-orang musyrik. Keberadaan kisah Nabi Daud seteleah
deskripsi orang-orang musyrik terhadap Nabi Muhammad SAW mengandung dorongan
untuk menguatkan jiwa Nabi SAW dan hiburan baginya dalam menghadapi tantang
orang-orang musyrik. Hal ini dapat kita lihat munasabahnya pada QS. Hud, 11/52
yang berbunyi :
وَيَا قَوْمِ
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ
مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا
مُجْرِمِينَ.
Artinya :”Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah
ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan
yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu,
dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.”(QS. Hud, 11/52).
Salah satu Aspek dari kisah nabi Daud yang diungkapkan
dalam ayat di atas adalah penegasan Tuhan bahwa Nabi DaudA.S adalah
seorang khalifah. Al-Qur’an tidak menjelaskan secara eksplisit apa sebenarnya
konsep yang terkandung dalam istilah tersebut. Hanya saja dalam ayat yang lain
yaitu dalam QS. Al-Baqarah, 2/30 :
وَإِذْ قَالَ
رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ
فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ
وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ .
Artinya : ”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.”( QS.
Al-Baqarah, 2/30 ).
Pada QS. Al-Baqarah, 2/30 ini diungkapkan bahwa
manusia pertama juga adalah seorang khalifah. Tak adanya penegasan secara
eksplisit ini menimbulkan perbedaan pendapat para mufassir.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Wahidi bahwa
beliau membatasi istilah tersebut pada kepemimpinan para nabi secara bergantian
menegakkan hukum tuhan,[11] begitupula dengan pemahaman
As-sayuti dari pendapat Salman Al-Farisi bahwa khalifah adalah kepala
pemerintahan umat Islam.[12] Dan sebagainya.
Sementara dewan redaksi ensiklopedi islam menyebutkan
bahwa manusia sebagai pengganti atau duta tuhan di muka bumi, dan pengganti
nabi SAW sebagai kepala Negara.[13]
- 3.
Aspek Politik
Kita kembali melihat devenisi-devenis para ulama di
atas, pendapat mereka memperlihatkan persamaan pendekatan, mereka melihat
konsep khalifah dari sudut pandang kepemimpinan dan pemerintahan, ini berarti
konsep tersebut adalah konsep politik.
Melihat dari sudut pandang politik, ayat tersebut di
atas (QS. Shad, 38/26) tidak hanya menjelaskan kedudukan nabi Daud sebagai
pemimpin politik, tetapi juga memberikan keterangan, dadn ini relevan dengan
masalah, tentang fungsi khalifah dan juga tentang pembahsan tingkah laku dan
perbuatab seorang khalifah. Hal ini dapat dipahami dari hubungan yang terdapat
antara 2 klausa pertama pada ayat itu. Hubungan tersebut diwujudkan oleh
partikel “fa” yang memberi makna hubungan kausal (Sababiyyat)
antara kedua klausa.[14]
Klausa pertama berisi tentang pernyataan pengangkatan
Daud sebagai khalifah, dan klausa kedua menhgandung perintah kepadanya agar ia
memerintah dengan benar. Dari sini jelas bahwa klausa pertama berkenaan dengan
status(kedudukan), sedangkan yang lain berkenann denhgan kewajiban pemimpin.[15] Oleh karena itu, eksistensi
khalifah sebagai konsep politik adalh fungsi menegakkan hukum dalam kehidupan
masyarakat dengan cara yang benar.
Jadi, dalam konsep islam manusia adalah khalifah,
yakni sabagai wakil, pengganti atau duta Tuhan di muka bumi. Kata khlifah ini
juga mengandung makna pengganti nabi Muhammad SAW dalam fungsinya sebagai
kepala Negara yaitu pengganti Nabi SAW dalam jabatan kepala pemerintahan dalam
islam, baik untuk urusan agama maupun dalam urusan islam.
Dengan kedudukan sebagai khalifah Allah swt di muka
bumi. Dengan kedudukannya sebagai khalifah Allah di muka bumi, manusia akan
dimintai tanggung jawab di hadapan-Nya tentang bagaimana ia melaksankan tugas
suci kekhalifaan itu. Oleh sebab itu, dalam melaksanakan tanggung jawab itu
manusia dilengkapi dengan berbagai potensi, seperti akal pikiran yang akan
memberikan kemampuan bagu manusia berbuat demikian.dengan akal pikiran manusia
memiliki kemampuan mengelolah dan memamfaatkan alam semesta ini untuk dirinya
dan bertanggung jawab di hadapan-Nya tentang bagaimana ia melaksanakan tugas
suci ini. Dengan konsepsi ini manusia diharapkan untuk senantiasa untuk
memperhatikan perbuatannya sendiri sedemikian rupa, sehingga perbuatan itu
dapat dpertanggung jawabkan di depan Ilahi kelak, dengan demikian manusia
sebagai makhluk moral selamanya dituntut untuk mempertimbangkan kegiatan
hidupnya dalam criteria baik dan buruk.
Kelompok ayat ini dimulai dengan penyampaian keputusan
Allah kepada para malaikat tentang rencana-Nya menciptakan manusia di bumi.
Penyampaian kepada mereka penting, karena malaikat akan dibebani sekian tugas
menyangkut manusia, ada yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang
bertugas memeliharanya, ada yang membimbingnya, dsb. Penyampaian itu juga kelak
diketahui manusia, akan mengantarnya bersyukur kepada Allah atas anugrah yang
tersimpul dalam dialog Allah dengan para malaikat, “sesungguhnya Alla akan
menciptkan khalifah di dunia” demikian penyampaian Allah SWT. Penyampaian
ini bias jadi setelah proses penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk dihuni
manusia pertama dengan nyaman.
Mendengar rencana tersebut, para malaikat bertnya tentang
makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan
menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelum
terciptanya manusia, di mana ada makhluk yang mberlaku demikian, atau bias juga
berdasr atas asumsi bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi khlifah bukan
malaikat, maka pasti makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih
menyucikan Allah.[16]
Pertanyaan mereka itu juga bias saja lahir dari
penamaan Allah terhadap makhluk yang akan dicipta itu dengan khalifah. Kata ini
mengesankan makna pelerai perselisihan dan oenegak hukum, sehingga dengan
demikian pasti ada di antara mereka yang berselisih dan menumpahkan darah. Bias
jadi demikian dugaan mereka sehingga muncul pertanyaan mereka.[17] Semua itu adalh dugaan, namun
apapun latar baelakangnya, yang pasti adalah mereka bertanya kepada Allah dan
bukan keberatan atas rencana-Nya.
Inilah ayat-ayat yang membahsa tentang kedudukan
manusia di buni sebagai khalifah. Beberapa ayat di atas menggunakan kata
khalifah dalam bentuk jama’ yaitu خَلَائِفَ , namun pada ayat yang lain
ditemukan juga Allah menggunakan kata خلفاء, seperti dalam QS. Al-Naml, 27/62
dan QS. Al-‘Araf, 7/69, 74. Sebagai contoh yaitu dalam QS. Al-‘Araf, 7/69 yang
berbunyi :
أَوَعَجِبْتُمْ
أَنْ جَاءَكُمْ ذِكْرٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَلَى رَجُلٍ مِنْكُمْ لِيُنْذِرَكُمْ
وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي
الْخَلْقِ بَسْطَةً فَاذْكُرُوا آَلَاءَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ .
Artinya : “Apakah kamu (tidak percaya) dan heran
bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang
laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? Dan ingatlah oleh kamu
sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang
berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh
dan perawakanmu (daripada Kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan.”( QS. Al-‘Araf, 7/69).
Apa bedanya ketika Allah menggunakan kata
خَلَائِفَdan juga kata خلفاء ? Dalam buku “membumikan Al-Qur’ān” antara
lain penulis kemukakan bahwa bentuk jama’ yang digunakan al-Qur’ān untuk
kata khalifah adalah khulafā dan khalāif. Setelah memperthatikan konteks ayat
yang menggunakan kedua bentuk jama’ ini, dapat disimpulkan bahwa bila kata khulafā
digunakan al-Qur’ān maka itu mengesankan adanya makna kekuasaan politik dalam
mengelolah suatu wilayah, sedang bila menggunakan kta khaāif maka kekuasaan
wilayah tidak termasuk dalam maknanya. Tidak digunakan bentuk tunggal untuk
makna ini, mengesankan bahwa kekhalifaan yang ditemban oleh setiap orang tidak
dapat terlaksana, kecuali dengan bantuan dan kerja sama dengan orang lain .
Adapun ayat yang terakhir turun membahas tentang
khalifah yaitu :
وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ
مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (55)
Artinya : “Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh
bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana
Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia
akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir
sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”(QS.
Al-Nur, 24/55).
Ayat tersebut di atas menggunakan kata
لَيَسْتَخْلِفَنَّ berasala dari kata اَسْتَخْلِفَ yang berarti “menjadikan
mereka berkuasa/khalifah” maka sangatlah jelas bahwa kedudukan kita di bumi
diciptakan untuk menjadi seorang khalifah, كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ “yaitu sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum
mereka berkuasa” kita kembali melihat ayat pertama turun mengenai khalifah
ini yaitu tentang kenabian Nabi daud, kekhalifaan manusia pertama yaitu adam
dan lain-lain. Allah memberikan contoh kekhalifaan kepada orang-orang yang
beriman yaitu kekhalifaan nabi-nabi terdahulu.
Ayat 55 ini adalah inti tujuan perjuangan hidup. Dan
inilah janji dan pengharapan yang telah dikemukakan Tuhan bagi setiap mu’min
dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keyakinan dipermukaan bumi ini. Dan
pokok pendirian mesti dipegang teguh dan sekali-kali jangan dilepaskan, baik
keduanya atau salah satu di antara keduanya. Pertama ialah iman, atau
kepercayaan, kedua amal shaleh, perbuatan baik, bukti dan bakti.[18]
Berkaitan dengan ayat tersebut di atas, dipertegas
lagi oleh hadis nabi saw yang berbunyi :
حدثنا أصبغ
أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس عن ابن شهاب عن أبي سلمة عن أبي سعيد الخدري :عن
النبي صلى الله عليه و سلم قال ( ما بعث الله من نبي ولا استخلف من خليفة إلا كانت
له بطانتان بطانة تأمره بالمعروف وتحضه عليه وبطانة تأمره بالشر وتحضه عليه
فالمعصوم من عصم الله تعالى.[19]
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami asbag,
telah memberitakan kepada kami ibn wahab, telah memberitakan kepadaku yunus
dari ibn syihab dari abi salmah dan abi said al-khudriy : dari nabi SAW
bersabda “Allah tidak akan mengutus seorang Nabi dan tidak menjadikan seorang
khalifah kecuali jika ia mempunyai semata-mata 2 niat yaitu niat untuk menyeru
kepada yang ma’ruf dan menganjurkan kepadanya dan āmelarang kepada yang jelek
dan menganjurkan untuk meninggalkannya yaitu apa yang dilarang oleh Allah.” (HR.
Bukhari).
Jadi, jika kita hanya berlandaskan tekstual terhadap
ayat dan hadis nabi saja maka tidaklah mungkin Allah mengangkat seorang
khalifah atau penguasa tanpa memiliki amr ma’ruf dan nahi mungkar, sementara
kalau kebalikannya berarti mungkin saja ia tidak akan terangkat menjadi
khalifah.
Mungkin inilah yang dapat kami sampaikan pada tulisan
kami ini, mudah-mudahan ada mamfaatnya bagi kita semua, sebagai pembaca dan
penulis beserta apa yang berkaitan dengan semua ini, dengan apa yang kami
lakukan ini dapat bernilai ibadah di sisi Allah, kalau ada benarnya maka itu
datangnya dari Allah dan kalau ada salahnya, itu datangnya dari kami. Lebih dan
kurangnya kami ucapkan banyak terimah kasih.
BAB III
PENUTUP
- A.
Kesimpulan
Setelah membaca dan menelaah bersama-sama dari
penjelasan di atas, kami dapat merefleksikan sebagai berikut :
- Kedudukan,
jabatan manusia di bumi adalah menjalankan tugas suci dan mulia yaitu
menjadi seorang khalifah.
- Konsep
khalifah hanya berlaku bagi makhluk manusia saja, tak ditemukan dalil
tentang kekhalifaan selain manusia.
- Selain
menjadi khlaifah dalam hal pengganti Tuhan dalam memelihara alam dan juga
sebagai pengganti nebai sebagai kepala negara.
- Kewajiban
menjalankan konsep kekhalifaan tersebut.
- Allah
tidak akan mengangkat seorang khalifah tanpa berniat untuk amar ma’ruf dan
nahi mungkar.
- B.
Saran
Tak ada manusia yang sempurna, sebagaimana dalam
ungkapan “manusia tidak luput dari kesalahan dan kehilafan”, olehnya
itu, setelah berusaha keras melakukan yang terbaik kita hanya bisa bertawakkal
kepada Allah sehingga kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan dari
para pembaca yang budiman. Sebab kami menyadari bahwa karya tulis ini memang
jauh dari kesempurnaan.
[1] Abu Husain Ahmad bin Faris bin
Zakariyya, Maqayis Lughah, (juz 2; Lebanon: Dar al-Fikri, 1979 M –
1399 H), h. 210.
[2] Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam
al-Alfaz wa al-‘Alam al-Qur’āniyyah, (Al-Qahirah: Dar al-Fikri al-‘Arabiy,
1968), h. 159.
[4] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
islam, (cet. IV; jilid V; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h.
50.
[6] Hasil hitungan dari Al-Mu’jam
al-Mufahras Liy Alfaz al-Qur’an al-Karim oleh Muhammad Fu’ad Abd.
Al-Baqy (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th).
[7] Jalaluddin Muhammad Bin Ahmad
Al-Mahalliy dan Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakar Al-Suyuthi, Tafsir
Al-Qur`anul Karim (Juz I; Surabaya: Al-Hidayah, t.th.), h. 577.
[8] Muhammad Bin Ali Bin Muhammad
Al-Syauqaniy, Fathul Qadir Al-Jami’u Bainal Fanni Al-Riwayah Wa Al-Dirayah
Min ‘Ilmit Tafsir (Juz 4; t.d.), h. 504.
[9] Prof. Dr. Abd. Muin Salim, Fiqh
Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’ān (Cet. 3; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 323. Surah ini termasuk urutan ke- 38 dari
surah-surah yang turun, dan inilah yang pertama turun mengenai kekhalifaan.
[10] Muhammad Bin Ali Bin Muhammad
Asy-Syauqāni, op. cit., h. 429 – 430.
[11] Abu Al-Hasan Bin Ahmad Al-Wahidi, Asbabun
Nuzul (Mesir: Musthafa Al-Bab Al-Halabi, 1968), h. 228
[12] Prof. Dr. Abd. Muin Salim, op.
cit., h. 112.
[13] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
op. cit., h. 35.
[14] Badrud Al-Din Muhammad Bin Abdillah
Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’ān (jilid IV; Mesir: Darul Ihya’
Al-Kutub Al-‘Arabiyyah, t.th.), h. 298.
[15] Prof. Dr. Abd. Muin Salim, op.
cit., h. 113.
[16] Prof. Dr. M. Qurays Shihab, Tafsir
Al-misbah (volume I; cet. VIII; Tangerang: Lentera hati, 2007), h. 141.
[18] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar
(Juz 17, 18, 19, 20; Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1983), h. 217
[19] Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah
Al-Bukhariy Al-Ja’fiya, Al-Jami’u Ash-Shahih Al-Mukhtashar (Juz VI; Cet.
III; Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1407H/1987M), h. 2632.